Denpasar, breakingnews – Tragedi kematian seorang tersangka pencabulan di ruang tahanan Polresta Denpasar menuai sorotan tajam. Anggota Komisi III DPR RI Dapil Bali, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H., menyampaikan keprihatin
Denpasar, PancarPOS | Tragedi kematian seorang tersangka pencabulan di ruang tahanan Polresta Denpasar menuai sorotan tajam. Anggota Komisi III DPR RI Dapil Bali, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H., menyampaikan keprihatinan mendalam dan menyayangkan kelalaian aparat yang bertugas sehingga menyebabkan tewasnya tahanan berinisial AI (35) pada Rabu malam, 4 Juni 2025, sekitar pukul 21.30 WITA.
“Siapapun yang bertugas saat itu, termasuk pimpinannya, wajib bertanggung jawab. Baik sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai warga negara yang kedudukannya sama di depan hukum. Provam Polda Bali harus bertindak transparan dan tegas mengusut tuntas kelalaian ini. Kapolresta juga tidak boleh lepas tangan atas peristiwa yang memakan korban jiwa ini,” tegas Sudirta.
Menurut keterangan resmi dari Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol. Jansen Avitus Panjaitan Aryasandi, saat ini tiga anggota polisi telah menjalani penempatan khusus (patsus). Namun, menurut Sudirta, langkah itu belum cukup menjawab kegelisahan publik.
“Masyarakat, terutama keluarga yang anggotanya berada dalam tahanan, tentu was-was. Kejadian ini adalah preseden serius. Kepolisian bukan hanya penegak hukum, tetapi juga pengayom masyarakat, termasuk mereka yang berstatus sebagai tersangka. Negara telah memberi wewenang dan anggaran dari pajak rakyat untuk menjamin keamanan mereka selama dalam tahanan,” ujarnya.
Dari hasil penyelidikan sementara, kematian AI diduga akibat pengeroyokan oleh enam tahanan lain, sebagian besar tersandung kasus narkotika. Keenamnya telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan kematian. Namun, Sudirta menilai, penetapan tersangka hanya pada sesama tahanan belum cukup.
“Apakah cukup hanya pelaku pengeroyokan yang dijadikan tersangka? Bagaimana dengan petugas yang lalai? Apakah Kapolresta dan Kasatreskrim sudah dimintai pertanggungjawaban? Jika sudah, apa hasilnya? Ini harus diumumkan secara terbuka agar tidak muncul kesan ada perlakuan istimewa terhadap sesama anggota polisi,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan, dalam hukum acara pidana, penahanan bukanlah bentuk hukuman, melainkan bagian dari proses hukum. Fungsi utamanya adalah mencegah pelarian, penghilangan barang bukti, atau pengulangan tindak pidana.
“Tahanan belum tentu bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Maka, selama dalam penguasaan negara, nyawa dan keselamatannya adalah tanggung jawab penuh negara. Dalam hal ini, aparat kepolisian yang menahan. Ini soal hak asasi manusia di negara yang berdasar pada Pancasila,” jelas Sudirta.
Menutup pernyataannya, Sudirta mendesak agar hasil pemeriksaan Provam Polda Bali diumumkan secara transparan dan akuntabel. “Kalau benar sudah ada pemeriksaan internal, masyarakat berhak tahu hasilnya. Jangan sampai ada kesan hukum tajam ke luar, tumpul ke dalam,” tegasnya.
Kasus ini menambah deretan kritik terhadap pola pengawasan di ruang tahanan kepolisian yang semestinya steril dari kekerasan, dan kembali mengingatkan bahwa hak atas rasa aman dan hidup adalah hak asasi, bahkan bagi seorang tersangka. ora/ama
an mendalam dan menyayangkan kelalaian aparat yang bertugas sehingga menyebabkan tewasnya tahanan berinisial AI (35) pada Rabu malam, 4 Juni 2025, sekitar pukul 21.30 WITA.
“Siapapun yang bertugas saat itu, termasuk pimpinannya, wajib bertanggung jawab. Baik sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai warga negara yang kedudukannya sama di depan hukum. Provam Polda Bali harus bertindak transparan dan tegas mengusut tuntas kelalaian ini. Kapolresta juga tidak boleh lepas tangan atas peristiwa yang memakan korban jiwa ini,” tegas Sudirta.
Menurut keterangan resmi dari Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol. Jansen Avitus Panjaitan Aryasandi, saat ini tiga anggota polisi telah menjalani penempatan khusus (patsus). Namun, menurut Sudirta, langkah itu belum cukup menjawab kegelisahan publik.
“Masyarakat, terutama keluarga yang anggotanya berada dalam tahanan, tentu was-was. Kejadian ini adalah preseden serius. Kepolisian bukan hanya penegak hukum, tetapi juga pengayom masyarakat, termasuk mereka yang berstatus sebagai tersangka. Negara telah memberi wewenang dan anggaran dari pajak rakyat untuk menjamin keamanan mereka selama dalam tahanan,” ujarnya.
Dari hasil penyelidikan sementara, kematian AI diduga akibat pengeroyokan oleh enam tahanan lain, sebagian besar tersandung kasus narkotika. Keenamnya telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan kematian. Namun, Sudirta menilai, penetapan tersangka hanya pada sesama tahanan belum cukup.
“Apakah cukup hanya pelaku pengeroyokan yang dijadikan tersangka? Bagaimana dengan petugas yang lalai? Apakah Kapolresta dan Kasatreskrim sudah dimintai pertanggungjawaban? Jika sudah, apa hasilnya? Ini harus diumumkan secara terbuka agar tidak muncul kesan ada perlakuan istimewa terhadap sesama anggota polisi,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan, dalam hukum acara pidana, penahanan bukanlah bentuk hukuman, melainkan bagian dari proses hukum. Fungsi utamanya adalah mencegah pelarian, penghilangan barang bukti, atau pengulangan tindak pidana.
“Tahanan belum tentu bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Maka, selama dalam penguasaan negara, nyawa dan keselamatannya adalah tanggung jawab penuh negara. Dalam hal ini, aparat kepolisian yang menahan. Ini soal hak asasi manusia di negara yang berdasar pada Pancasila,” jelas Sudirta.
Menutup pernyataannya, Sudirta mendesak agar hasil pemeriksaan Provam Polda Bali diumumkan secara transparan dan akuntabel. “Kalau benar sudah ada pemeriksaan internal, masyarakat berhak tahu hasilnya. Jangan sampai ada kesan hukum tajam ke luar, tumpul ke dalam,” tegasnya.
Kasus ini menambah deretan kritik terhadap pola pengawasan di ruang tahanan kepolisian yang semestinya steril dari kekerasan, dan kembali mengingatkan bahwa hak atas rasa aman dan hidup adalah hak asasi, bahkan bagi seorang tersangka. 5412/jmg