Badung, breakingnews – Kekuatan uang dan politik sekali lagi terbukti mampu meruntuhkan aturan dan hukum yang ada. Seperti layaknya kisah tragedi klasik, konflik sengketa lahan di Subak Uma Desa Canggu, kini memanas dengan penambahan bangunan mewah yang dibangun tanpa izin di kawasan yang seharusnya dilindungi. Nampaknya kasus investor mencaplok Lahan Sawah yang Dilindungi atau LSD untuk Kampung Rusia, Ubud dan Subak Munggu Tegallantang Pererenan juga terjadi di semua subak di Desa Canggu, Kuta Utara, Badung.
Peristiwa ini bermula dari pernyataan keras yang dilontarkan oleh De Arta, salah satu pemilik lahan yang menjadi korban ketidakadilan dalam sengketa ini. Pada Jumat, 17 Januari 2025 lalu, ia dengan tegas mengajukan protes kepada Kasatpol PP Kabupaten Badung, menuntut agar pembangunan villa mewah di kawasan Subak Uma Desa segera dihentikan. Kawasan ini, yang merupakan bagian dari zona hijau LSD untuk pertanian dan kawasan jalur hijau permanen (P2B), telah dijadikan lahan pembangunan oleh sejumlah oknum dengan kekuatan finansial yang kuat.
De Arta mempertanyakan mengapa pihak berwenang seperti Satpol PP dan Pemda Badung diam seribu bahasa, sementara jelas-jelas terdapat pelanggaran hukum yang mencolok di lapangan. “Apa ada uang sekarung untuk aparat sehingga mereka buta mata dan buta hati? Ini adalah kecemburuan sosial yang tak dapat dipandang sebelah mata,” ujar De Arta dengan penuh kemarahan. Ia juga menyebutkan bahwa jika tidak ada tindakan serius dari pihak aparat hingga Pemda, ia siap membawa kasus ini ke pusat, bahkan hingga ke DPD RI.
Kasus ini menyeret nama sejumlah pihak, termasuk para pemilik lahan yang telah mengubah kawasan Subak Uma Desa menjadi wilayah yang dipenuhi dengan villa mewah, restoran besar, dan fasilitas lain yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan fungsi asli kawasan tersebut. Sumber-sumber yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan bahwa pembangunan-pembangunan ini melibatkan sejumlah pejabat, yang terkesan membela pengusaha dan mengabaikan keluhan masyarakat lokal.
Salah satu contoh yang mencolok adalah pembangunan hotel bintang 4 di kawasan Jalan Babakan Kubu, Canggu, yang merupakan bagian dari kawasan Subak Uma Desa. Keluhan semakin menguat, karena jelas-jelas ini merupakan kawasan yang dilindungi oleh peraturan pemerintah mengenai LSD dan P2B (perlindungan kawasan hijau dan pertanian).
Sementara itu, pada kondisi yang jauh dari adil, warga yang memiliki tanah di kawasan ini justru tidak diberikan izin untuk pembangunan jalan menuju sawah mereka. Mereka bahkan diperlakukan semena-mena oleh aparat, yang seolah-olah membiarkan pembangunannya dengan hanya mengawasi tanpa ada tindakan tegas. “Kami hanya ingin bisa membangun jalan untuk memudahkan kami membawa hasil panen, tapi malah diblokir. Sementara yang punya duit bisa seenaknya,” keluh seorang warga yang tak ingin disebutkan namanya.
De Arta juga menegaskan bahwa jika ini terus dibiarkan, ia tidak akan segan-segan membawa masalah ini ke tingkat lebih tinggi, dan bahkan mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap pejabat desa yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat banyak. “Kapan aparat akan sadar? Mereka pura-pura buta dan membela para pengusaha kaya. Kalau begini terus, saya akan bawa masalah ini ke PUPR pusat dan minta perhatian serius dari pemerintah pusat,” tegas De Arta.
Kisah ini mencerminkan sebuah ironi besar: di saat rakyat yang tinggal di kawasan ini berjuang keras mempertahankan haknya atas tanah, para oknum pejabat dengan kekuasaan dan uangnya justru merampas tanah tersebut untuk kepentingan pribadi mereka. Tidak hanya itu, bangunan yang berdiri kokoh di tengah kawasan pertanian ini—seperti villa dan restoran mewah milik beberapa oknum—justru menggerogoti kawasan hijau yang seharusnya dilindungi oleh peraturan zonasi.
Dalam analisis lebih jauh, dapat disimpulkan bahwa masalah ini bukan hanya tentang ketidakadilan dalam pengelolaan lahan, melainkan juga soal ketegasan dan transparansi aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan menjaga keseimbangan antara kepentingan masyarakat lokal dan investor besar. Kewajiban pemerintah untuk melindungi kawasan pertanian, khususnya kawasan yang tergolong LSD, telah dilanggar dengan impunitas yang sangat mencolok.
Jika tidak segera ada tindakan tegas, ketidakadilan ini hanya akan terus berlanjut, merusak kesejahteraan masyarakat setempat, dan menambah ketimpangan sosial yang semakin mengkhawatirkan. Kini, publik menanti apakah suara keras masyarakat akan didengar oleh aparat terkait dan sejauh mana mereka akan berani menegakkan hukum meskipun dihadapkan pada tekanan dari kelompok berkepentingan.
Namun, demi keadilan, akses utama menuju Subak Uma Desa harusnya dihargai dan dijaga, karena jalan ini merupakan jalur utama yang menghubungkan kawasan pertanian dengan akses transportasi lainnya. Jalan Batu Mejan Selatan, yang terhubung langsung dengan Jalan Batu Mejan Utara di Subak Uma Desa, menjadi salah satu rute vital bagi warga setempat. Namun, yang ironis, meski kawasan ini merupakan jalur utama yang menghubungkan beberapa kawasan, pembangunan besar-besaran yang melibatkan investor justru dibiarkan terus berlangsung tanpa kendali yang jelas. Sementara itu, masyarakat setempat tidak diizinkan membangun di lokasi yang sudah seharusnya mereka manfaatkan untuk keperluan pertanian dan kebutuhan dasar mereka.
De Arta dan warga setempat menuntut agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, bijak dalam menyikapi masalah ini dan tidak berpihak pada kepentingan segelintir investor yang dapat dengan mudah mendapatkan izin. “Demi asas keadilan, lebih baik semuanya diberikan izin untuk membangun daripada melanggar zonasi LSD secara sepihak,” tambah De Arta. Ia juga menekankan bahwa jika kawasan ini terus dibiarkan untuk kepentingan pembangunan yang melanggar peraturan, masyarakat lokal akan terus merasakan ketidakadilan dan kecemburuan sosial yang semakin dalam. Pemerintah harus bertindak tegas dan tidak tumpang tindih dengan pihak-pihak yang memanfaatkan ketidaktegasan hukum ini.
Dengan melihat kenyataan bahwa kawasan ini telah berubah menjadi lahan yang penuh dengan bangunan dan fasilitas non-pertanian, ia mengusulkan agar kawasan ini diubah fungsinya menjadi perumahan atau akomodasi pariwisata yang lebih tertata, guna mendukung sektor pariwisata Canggu yang semakin berkembang. “Apa gunanya zona LSD kalau terus dibiarkan dilanggar? Masyarakat pasti setuju jika kawasan ini dijadikan sebagai kawasan pariwisata yang terkelola dengan baik dan dapat menambah pundi-pundi pajak daerah. Ini justru bisa menguntungkan semua pihak,” kata De Arta.
Jika melihat kondisi ini, mengembalikan kawasan Subak Uma Desa menjadi sawah kembali tampaknya hampir mustahil, mengingat sudah banyaknya pembangunan yang terjadi di sana. Oleh karena itu, langkah terbaik adalah merapikan kawasan tersebut dengan mengubah fungsinya secara legal menjadi area yang sesuai dengan kebutuhan zaman, seperti kawasan perumahan atau akomodasi pariwisata, untuk memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat dan daerah.
Kini, publik menanti apakah suara keras masyarakat akan didengar oleh aparat terkait dan sejauh mana mereka akan berani menegakkan hukum meskipun dihadapkan pada tekanan dari kelompok berkepentingan. Apakah keadilan dan asas kebijaksanaan akan ditegakkan? Ataukah pembangunan yang merugikan masyarakat akan terus berkembang, menggerogoti ruang hidup mereka? Waktu yang akan menjawab. 5412/jmg