Mandek Satu Dekade, Oligarki dan Invisible Hand Diduga Bermain di Balik Layar Proyek LNG Bali

Jakarta, breakingnews – Proyek Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) di Bali kembali menemui jalan buntu. Setelah nyaris sepuluh tahun digagas sebagai solusi energi bersih dan murah, proyek ini justru terkatung-katung tanpa kejelasan. Kuat dugaan, mandeknya proyek strategis ini bukan karena alasan teknis atau lingkungan semata, tetapi lebih karena intervensi kekuatan elit yang bermain di balik layar. Salah satu narasumber di internal pejabat Provinsi Bali yang mengetahui secara langsung dinamika proyek ini dan meminta agar identitasnya tidak dikorankan menyampaikan, pada Rabu, 18 April 2025, bahwa ada indikasi kuat terjadinya konflik kepentingan yang melibatkan sejumlah pemegang kebijakan.

“Kalau dilihat dari sisi regulasi, teknis, hingga sosial, semuanya sudah clear. Tapi faktanya proyek LNG ini tetap tidak jalan. Ini menandakan ada invisible hand yang bekerja—tangan-tangan tak terlihat yang diduga menjadi alat oligarki untuk menghalangi proyek ini,” ungkapnya. Menurutnya, proyek LNG ini sejatinya telah mendapat dukungan luas dari masyarakat adat di kawasan terdampak, seperti Desa Adat Serangan, Desa Intaran, Desa Sidakarya, Desa Pendungan, dan Desa Sesetan. Bahkan, telah tercapai kesepakatan bahwa jarak aman minimal 500 meter dari pemukiman akan dipenuhi, demi menjamin keselamatan dan asas manfaat langsung bagi warga.

“Kesepakatan itu sudah dituangkan dalam dokumen resmi harmonisasi antara Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota, desa adat, serta pihak pemrakarsa, termasuk PLN. Secara logika, PLN harusnya diuntungkan karena akan mendapat pasokan energi yang bersih dan lebih murah,” paparnya. Namun entah mengapa, prosesnya selalu berhenti di tengah jalan. Salah satu hambatan besar yang disebut narasumber adalah keberatan dari pihak Bali Turtle Island Development (BTID), sebuah entitas yang memiliki kepentingan bisnis besar di kawasan Serangan.

“Kami melihat BTID memainkan peran besar dalam menggiring opini dan kebijakan agar proyek ini tertunda. Bahkan muncul isu agar proyek LNG ini dialihkan ke luar Bali. Ini sangat tidak masuk akal, karena kebutuhan listrik Bali sudah mendesak, apalagi dengan beban pariwisata dan pertumbuhan hunian yang meningkat,” tambahnya. Padahal, dari hasil pertemuan terakhir dalam forum Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), organisasi lingkungan seperti Walhi pun mulai memahami posisi masyarakat. Walhi menegaskan komitmennya menjaga lingkungan, namun juga mengakui bahwa Bali sangat membutuhkan energi bersih yang dapat diakses segera.

“Walhi tidak menolak, mereka hanya minta agar aspek kelestarian lingkungan tetap jadi perhatian. Tapi intinya mereka mendukung karena ini untuk masyarakat Bali. Yang keberatan keras justru datang dari BTID,” ujarnya. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa proyek yang secara teknis, regulatif, dan sosial sudah memenuhi syarat, namun tetap tidak bisa berjalan? Jawaban yang paling masuk akal, kata narasumber, adalah adanya kekuatan elit yang tidak ingin proyek ini terealisasi karena bertabrakan dengan kepentingan bisnis pribadi di kawasan tersebut. “Kami melihat ada indikasi bahwa kebutuhan rakyat Bali akan listrik dikorbankan demi kepentingan segelintir kelompok elit. Ini bukan sekadar penundaan, ini sabotase kepentingan publik,” tegasnya.

Proyek LNG yang sejak awal diposisikan sebagai bagian dari transformasi Bali menuju energi bersih dan berkelanjutan, kini justru menjadi korban tarik-menarik kepentingan yang sarat aroma oligarki. Namun jika hal ini terus dibiarkan, masa depan energi Bali akan terus tersandera oleh kekuasaan di balik layar. 031/002

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *