GIANYAR, Breaking-news.co.id | Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Garda Pejuang Penerus Aspirasi Rakyat (LSM GAPPAR),Gianyar, Ngakan Made Rai, tuding Bale Kertha Adyaksa keberadaannya bakal tumpang tindih.
Tudingan itu disampaikan Ngakan Rai, di sekretariat GAPPAR, di Jalan Raya Bukitjati, Gianyar, Senin (9/6), menyikapi adanya lembaga yang merupakan perpanjangan tangan Kejaksaan di desa-desa sejak beberapa pekan belakangan ini. Pasalnya di desa, baik di desa dinas maupun desa Adat papar dia sudah memiliki lembaga yang tugasnya tak beda jauh dengan Bale Adyaksa.
Dirinya mengapresiasi akan inisiatif Kejaksaan Tinggi Bali dalam membentuk Bale Kertha Adhyaksa, sebuah wadah penyelesaian sengketa hukum di tingkat desa dan desa adat. Konsep tersebut, menurut Kejaksaan, mengusung pendekatan restorative justice (penyelesaian kasus hukum dengan asas kekeluargaan dan musyawarah).
Namun Ngakan Rai menuding Bale Kertha Adhyaksa bakal tumpang tindih dengan lembaga adat yang telah eksis, yakni Kertha Desa.
“Kami mempertanyakan apakah pembentukan Bale Kertha Adhyaksa tidak akan menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan Kertha Desa. Sebab, sesuai Pasal 37 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, Kerta Desa merupakan lembaga yang berwenang menerima, memeriksa, dan menyelesaikan perkara adat (wicara) yang terjadi di Desa Adat berdasarkan hukum adat,” ujar Ngakan Rai.
Ia menambahkan bahwa tugas pokok dan fungsi ( Tupoksi) Kertha Desa tidak lain adalah menyelesaikan permasalahan melalui mekanisme musyawarah. Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada kejelasan hukum mengenai ruang lingkup kewenangan Bale Kertha Adhyaksa.
“Jika Bale Kertha Adhyaksa dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara hukum secara restorative justice baik di desa adat maupun desa dinas, kami meminta penjelasan perkara seperti apa yang termasuk dalam kewenangannya,” tambah Ngakan Rai.
Lebih lanjut, Ngakan Rai mengingatkan agar pembentukan lembaga baru hendaknya dimpertimbangkan efektivitasnya agar tidak tumpang tindih.
Ia mencontohkan apabila suatu perkara adat tidak mencapai kesepakatan dan dilaporkan ke penegak hukum formal, seperti kepolisian, maka perlu ada kejelasan mengenai mekanisme penyelesaian selanjutnya.
“Kalau salah satu pihak tidak sepakat lalu membawa persoalan ke ranah hukum formal, apakah itu dibenarkan secara hukum?” tanya Ngakan Rai.
Ngakan Rai juga menyarankan agar Kejaksaan kembali menghidupkan program penyuluhan hukum ke desa-desa, sebagaimana praktik di masa lalu dengan program
“Jaksa Masuk Desa”. Menurutnya, pendekatan preventif tersebut lebih efektif dalam menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat.
“Daripada membentuk lembaga baru, lebih baik jaksa aktif turun ke desa untuk melakukan penyuluhan hukum. Kerta Desa yang sudah berjalan selama ini terbukti efektif dalam konteks pencegahan,” katanya.
Iapun mengapresiasi pendekatan yang dilakukan Polres Gianyar melalui program Jumat Curhat yang rutin dilaksanakan di desa-desa. Menurutnya, pendekatan tersebut sangat efektif dalam menyerap aspirasi masyarakat serta meningkatkan kesadaran hukum.
“Saya juga ingin menanyakan kepada Bapak Gubernur Koster, apakah pembentukan Bale Kertha Adhyaksa tidak melanggar atau bertentangan dengan substansi Perda Nomor 4 Tahun 2019 yang telah mengatur secara jelas tugas dan kewenangan Kerta Desa?” pungkas Ngakan Rai. (sum)