Denpasar, breakingnews – Rencana pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) LNG di kawasan Sidakarya kembali mencuat, terutama setelah beberapa pemberitaan menyebutkan adanya penolakan dari kalangan desa adat. Namun, sejumlah tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan menegaskan bahwa tidak ada sikap resmi yang menyatakan penolakan terhadap proyek strategis tersebut, termasuk dari wilayah-wilayah adat yang terdampak.
Bendesa Adat Sidakarya, I Ketut Suka, menegaskan bahwa masyarakat adat pada dasarnya hanya mengharapkan yang terbaik bagi lingkungan dan masa depan Bali. “Titiang sebagai masyarakat bawah pastika mengharapkan yang terbaik dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar dan Bali umumnya. Jikapun ada yang bermain untuk keuntungan pribadi atau kelompok dengan mengorbankan yang lain, biar mereka menerima buah karmanya,” ucapnya.
Ketut Suka menekankan pentingnya menjaga keharmonisan serta tidak menyebarkan narasi yang justru membingungkan masyarakat awam yang telah diberikan ruang untuk memahami rencana pembangunan ini. Tokoh masyarakat Sanur, I Wayan Supriatna, juga dengan tegas menyampaikan keprihatinannya terhadap pihak-pihak yang memberi komentar tanpa pemahaman yang memadai. “Intinya, jangan ada orang-orang yang merasa dirinya tokoh tapi justru tidak konsekuen dan asal bicara tanpa mengetahui secara detail baik data teknis, regulasi, dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah,” ujarnya.
Supriatna menegaskan bahwa seluruh proses telah melalui harmonisasi antara Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali, yang dalam pelaksanaannya justru banyak melibatkan desa adat sebagai aktor utama dalam diskusi dan penyampaian aspirasi. “Justru desa adat berperan aktif dalam proses itu. Jadi ketika ada yang bicara soal kesucian pura, mangrove, atau alur kapal pariwisata tanpa memahami detail teknis dan data lingkungan terbaru, berarti mereka tidak update dengan informasi rencana LNG saat ini,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa krisis listrik di Bali sudah nyata. Gangguan suplai dari Jawa dapat berisiko memicu blackout besar sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. “Sekarang saja kita lihat, asap hitam dari cerobong PLTU di Pesanggaran makin sering terlihat. Sementara kita sudah canangkan Bali sebagai daerah energi bersih,” kata Supriatna. Menurutnya, proyek FSRU merupakan bagian dari solusi jangka panjang untuk ketahanan energi Bali. Tidak hanya itu, hasil pengerukan (dredging) dari proyek ini justru memberi manfaat langsung ke desa adat sekitar.
“Desa Adat Intaran justru yang paling mendapat manfaat. Ada sekitar empat hektar hasil pengerukan yang akan digunakan untuk penataan Pantai Muntig Siokan. Begitu juga di Sidakarya dan Serangan. Itu manfaat nyata, bukan sekadar janji,” imbuhnya. Sementara itu, Ketua Bali Tourism Board (BTB), Ida Bagus Agung Partha Adnyana (Gus Agung), mengingatkan bahwa penolakan tanpa data dan solusi hanya akan menghambat langkah Bali menuju kemandirian energi. “Bali butuh listrik bersih yang terjangkau. Jangan terjebak teori tanpa realita. Kita harus berpikir logis, karena masyarakat yang akan menanggung dampaknya kalau krisis energi tidak segera ditangani,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada padang lamun atau terumbu karang aktif yang terdampak langsung dalam proyek ini, dan teknologi pengeboran pipa bawah tanah (HDD) telah dirancang untuk menghindari kerusakan hutan mangrove. “Semuanya sudah dibahas, dikaji, dan disosialisasikan berulang kali. Kalau masih ada yang mengulang isu lama, mungkin mereka belum mengikuti informasi terkini,” tegasnya. Hal senada disampaikan Ketua BUPDA Intaran, Anak Agung Ketut Gede Aryateja, yang merasa pernyataannya telah disalahartikan dalam sejumlah media. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menyatakan penolakan terhadap proyek FSRU Sidakarya.
“Saya tidak pernah berkata menolak. Saya hanya menjelaskan kronologi dan dinamika yang terjadi. Tidak ada satu pun kata ‘menolak’ yang saya ucapkan,” ujar Aryateja mengajak semua pihak agar mengedepankan dialog dan saling klarifikasi sebelum menyimpulkan atau menyebarkan narasi yang dapat memecah belah masyarakat. “Jangan sampai kesalahpahaman ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan lain. Proyek ini bukan soal siapa setuju atau tidak, tapi soal bagaimana kita memastikan manfaat dan dampaknya benar-benar dikawal,” tegasnya.
Dengan seluruh klarifikasi ini, semakin terang bahwa isu penolakan terhadap FSRU Sidakarya tidak berdasar. Justru, banyak pihak telah menyatakan komitmen untuk mengawal proyek ini demi ketersediaan energi bersih dan terjangkau di Bali, tanpa meninggalkan kepentingan lingkungan dan adat. 038/006