FPDIP Sampaikan Pandangan Atas KEM dan PPKF 2026, Soroti Kualitas Pertumbuhan Ekonomi dan Arah Belanja Negara

Juru Bicara Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH, menyampaikan Pandangan Fraksi PDI Perjuangan DPR RI atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) Tahun Anggaran 2026 kepada Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/5/2025). (foto: dok wayan sudirta)

Jakarta, breakingnews –  .Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) DPR RI menyampaikan pandangan strategisnya terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) Tahun Anggaran 2026 dalam Rapat Paripurna DPR RI yang berlangsung di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/5/2025). Pandangan tersebut disampaikan langsung oleh Juru Bicara FPDIP, Dr. I Wayan Sudirta, yang menegaskan pentingnya KEM dan PPKF sebagai dasar penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2026.

Menurut Sudirta, pembahasan KEM dan PPKF sangat strategis karena menjadi acuan bagi seluruh kementerian dan lembaga dalam menyusun usulan anggaran tahun depan. Ia menekankan bahwa perencanaan APBN harus mencerminkan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD NRI 1945, yang menempatkan kekuasaan negara sebagai pengelola utama sumber daya alam dan sektor strategis bagi hajat hidup rakyat.

“Kekuasaan negara dalam mengimplementasikan Pasal 33 UUD NRI 1945 tersebut, harus dapat dirumuskan dalam bentuk pengelolaan keuangan negara, termasuk APBN, yang terencana, terukur dan transparan,” kata Sudirta di hadapan forum paripurna.

Lebih lanjut, FPDIP memandang bahwa desain pertumbuhan ekonomi tahun 2026 yang ditargetkan pada kisaran 5,2% hingga 5,8% memang memberi harapan, namun harus disertai dengan kebijakan sektoral yang konkret. Sudirta menyebut sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, industri, perdagangan, pertambangan, perkebunan, transportasi, hingga perumahan perlu mendapatkan perhatian dalam meningkatkan produktivitas nasional.

Ia juga menyinggung kontribusi BPI/Danantara sebagai indikator penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun yang tak kalah penting, menurutnya, adalah kualitas pertumbuhan itu sendiri—yakni pertumbuhan yang menghasilkan peningkatan pendapatan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja yang nyata.

“Berapa tambahan pendapatan masyarakat pada tahun 2026? Berapa dan di mana tambahan lapangan kerja baru pada tahun 2026?” tanya Sudirta secara kritis, menekankan perlunya target-target yang terukur.

Dalam aspek asumsi makro, FPDIP mendorong agar stabilitas nilai tukar rupiah diperkuat melalui sinergi antara otoritas fiskal dan moneter. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga pasar obligasi tetap stabil serta menjaga inflasi tetap terkendali tanpa menggerus daya beli masyarakat. Untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah diingatkan agar program perlindungan sosial tidak sekadar bersifat karitatif, namun juga memberdayakan.

Sudirta juga menyoroti menurunnya produksi minyak dan gas (migas) nasional yang disebutnya sebagai tantangan berat. Pemerintah didorong untuk memperkuat eksplorasi dengan memberi insentif kepada pelaku industri dalam menemukan sumber energi baru.

Dalam ranah kebijakan fiskal, Sudirta menggarisbawahi delapan fokus reformasi struktural: ketahanan pangan, energi, makan bergizi gratis, pendidikan, kesehatan, pembangunan desa dan UMKM, pertahanan semesta, serta akselerasi investasi. Reformasi ini, katanya, harus disertai indikator capaian yang jelas serta dampak yang langsung terasa oleh rakyat.

Ia juga menyinggung perlunya optimalisasi pendapatan negara, khususnya dari sektor pajak dan PNBP, namun dengan catatan: PNBP yang terkait pelayanan publik jangan dibebankan sebagai target penerimaan. Justru yang harus ditingkatkan adalah efisiensi dan kualitas layanan.

Menyangkut belanja negara, FPDIP mencermati rencana belanja tahun 2026 yang diproyeksikan mencapai Rp3.700 hingga Rp3.850 triliun. Menurut Sudirta, peningkatan nilai belanja negara harus dibarengi dengan peningkatan kualitas belanja: efisien, efektif, dan berorientasi pada manfaat langsung bagi rakyat. Pemerintah diminta menetapkan indikator kualitas belanja di setiap K/L, termasuk kinerja birokrasi dan penerima manfaat.

Ia juga mengkritisi realisasi belanja pendidikan yang selama ini belum mencapai amanat konstitusi sebesar 20% dari APBN. Pemerintah didorong untuk benar-benar merencanakan alokasi tersebut, bukan sekadar menjadi angka dalam dokumen formal. Dalam konteks bansos, FPDIP menilai selama ini penerimanya relatif stagnan dari tahun ke tahun. Pemerintah diminta menyinergikan bansos dengan program pemberdayaan agar masyarakat bisa “naik kelas”.

FPDIP juga menyoroti rencana re-profiling pembayaran utang, subsidi energi yang masih belum tepat sasaran, serta transfer ke daerah yang direncanakan turun hingga 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini dinilai berpotensi menghambat pembangunan di daerah, sehingga pemerintah pusat diminta hadir melalui program-program kementerian yang menyerap aspirasi daerah.

Terkait defisit APBN 2026 yang diperkirakan mencapai 2,48%–2,53%, Sudirta menegaskan pentingnya pengelolaan utang yang pruden, demi menjaga keberlanjutan fiskal jangka pendek hingga panjang. Pembiayaan investasi tahun depan, kata dia, di antaranya akan diarahkan untuk penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk itu, implementasi UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu dioptimalkan, termasuk mewajibkan kontribusi pengembang dalam penyediaan rumah sederhana.

Sementara itu, penggunaan dana SAL (Saldo Anggaran Lebih) harus dilakukan secara transparan dan penuh kehati-hatian sebagai fiscal buffer, dengan tingkat risiko rendah dan terkelola.

Menutup pandangannya, Sudirta menegaskan bahwa sasaran pembangunan nasional—seperti pengurangan kemiskinan ekstrem, penurunan pengangguran, rasio gini, serta peningkatan Indeks Modal Manusia—harus dilengkapi dengan penugasan yang jelas kepada kementerian/lembaga, berikut program, anggaran, dan indikatornya.

Ia menambahkan bahwa nilai tukar petani (NTP) dan nelayan (NTN) perlu tetap dijadikan prioritas sasaran pembangunan nasional. “Berdasarkan pandangan, pendapat serta masukan tersebut di atas, maka Fraksi PDI Perjuangan menyatakan dapat menyetujui untuk melakukan pembahasan lebih lanjut terhadap KEM dan PPKF Tahun 2026,” tutupnya.

Rapat Paripurna ini dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, didampingi Wakil Ketua DPR Adies Kadir, Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal. Pandangan fraksi-fraksi dalam forum tersebut diawali oleh FPDIP dan diikuti oleh Fraksi Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PKS, PAN, serta Partai Demokrat. 5412/jmg

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *