Jakarta, breakingnews – Di usianya yang ke-80, Indonesia memang telah merdeka dari penjajahan fisik. Namun, pertanyaan mendasarnya tetap relevan: apakah kita benar-benar sudah merdeka seutuhnya? Menurut Bung Karno, kemerdekaan sejati tidak hanya berarti terbebas dari penjajah, tetapi juga merdeka dari segala bentuk penjajahan mental dan spiritual. Beliau pernah berujar, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Ucapan ini kini terasa sangat relevan di tengah gelombang tantangan era digital.
Ketika kemerdekaan diuji oleh algoritma
Secara filosofis, kemerdekaan sejati adalah kondisi di mana individu dan bangsa mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa dibatasi oleh kekuatan eksternal maupun internal. Di masa lalu, kekuatan eksternal itu adalah penjajah. Hari ini, tantangan justru datang dari dalam diri kita sendiri: polarisasi sosial, arus informasi tak terkendali, dan krisis identitas.
Kemerdekaan berekspresi di era digital memang membuka peluang besar. Namun ironisnya, ruang digital justru menjadi arena baru bagi penjajahan nilai. Algoritma dan platform media sosial, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, kini sering kali menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi yang memecah belah bangsa. Tanpa kedewasaan moral, kemerdekaan informasi justru menjadi bumerang yang mengancam persatuan.
Era digital memberi peluang besar bagi kebebasan berekspresi. Siapa saja kini bisa bersuara, menyampaikan pendapat, bahkan memengaruhi opini publik hanya dengan sentuhan jempol. Namun di sinilah letak persoalannya. Media sosial menjadi medan baru bagi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi yang memecah belah.
Ironisnya, banyak dari konten-konten tersebut datang dari sesama anak bangsa. Polarisasi politik, perang komentar, dan cancel culture telah menjadi fenomena sehari-hari. Kita sedang menyaksikan bagaimana ruang digital bisa menjadi arena baru bagi penjajahan nilai dan disorientasi identitas. Kemerdekaan informasi tanpa kedewasaan moral justru menjadi bumerang. Masyarakat dibanjiri oleh informasi, tapi sering kali kehilangan makna. Kita mengalami apa yang oleh filsuf Jean Baudrillard disebut sebagai simulacra—di mana realitas tergantikan oleh ilusi yang diproduksi terus-menerus oleh media.
Pancasila: kompas moral di tengah kebingungan digital
Di tengah kompleksitas ini, Pancasila kembali menunjukkan relevansinya sebagai dasar etika bermedia. Pancasila bukan sekadar teks konstitusional, tetapi nilai hidup yang perlu ditanamkan dalam interaksi digital kita.
Sila pertama dan kedua mengajarkan bahwa kebebasan harus dijalankan dengan nilai kebenaran dan kemanusiaan. Hoaks dan kebencian bukanlah bentuk kemerdekaan. Sila ketiga menuntut kita menjaga persatuan, bahkan dalam perbedaan opini. Sila keempat dan kelima mendorong kita berdiskusi secara demokratis dan memperjuangkan keadilan—bukan menjatuhkan, mengintimidasi, atau membungkam.
Jika dipahami secara substansial, Pancasila bisa menjadi “antivirus” dari penyakit digital yang menggerogoti semangat kebangsaan kita. Ia adalah kompas moral untuk menyaring informasi, meredam konflik, dan menuntun kita agar tetap waras di tengah hiruk-pikuk ruang siber.
Kearifan lokal sebagai pondasi ketahanan bangsa
Selain Pancasila, kearifan lokal juga menjadi benteng pertahanan yang kuat. Misalnya di Bali, filosofi Tri Hita Karana (harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan) serta Menyama Braya (persaudaraan universal) mampu menjaga kohesi sosial di tengah modernisasi. Nilai-nilai seperti ini ada di setiap daerah di Indonesia. Kearifan lokal adalah tameng yang melindungi kita dari gempuran budaya luar dan disorientasi identitas.
Nilai-nilai lokal seperti ini bukan hanya milik Bali. Setiap daerah di Indonesia punya warisan budaya yang bisa menjadi benteng moral menghadapi gempuran budaya luar. Kearifan lokal adalah tameng sekaligus pondasi dalam membangun ketahanan bangsa dari dalam.
Seperti kata filsuf Antonio Gramsci, hegemoni budaya adalah kekuatan utama dalam membentuk masyarakat. Maka, mempertahankan budaya dan nilai luhur bangsa adalah bentuk perjuangan yang tak kalah penting dari melawan penjajahan fisik di masa lalu.
Kemerdekaan yang diperjuangkan kembali
Di masa lalu, kemerdekaan diraih dengan bambu runcing dan diplomasi. Di masa kini, kemerdekaan harus dijaga lewat literasi, etika digital, dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Menjadi warga digital yang merdeka berarti mampu berpikir kritis, bertindak bijak, dan berbicara dengan empati.
Revolusi digital memerlukan revolusi mental, sebagaimana digaungkan Bung Karno. Kita tidak cukup hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi harus menjadi pembentuk budaya digital itu sendiri—yang beradab, Pancasilais, dan berjiwa Indonesia.
Maka mari kita jaga api kemerdekaan itu tetap menyala, bukan hanya di tugu-tugu peringatan, tetapi juga di dalam hati, dalam cara kita berbicara, bersikap, dan berinteraksi, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Kini, di era digital, revolusi mental harus diarahkan untuk melawan “penjajahan” baru: disinformasi, polarisasi, dan krisis identitas yang disebarkan melalui algoritma media sosial.
- Literasi digital dan etika berpikir kritis.
Di masa lalu, bambu runcing dan diplomasi adalah senjata. Hari ini, senjata kita adalah literasi digital dan kemampuan berpikir kritis. Kemerdekaan sejati di era digital adalah kemampuan untuk menyaring informasi, membedakan fakta dari hoaks, dan tidak mudah terprovokasi. Kita harus mengedukasi diri sendiri dan orang lain agar tidak menjadi korban atau penyebar disinformasi. - Membangun budaya digital yang beradab.
Bung Karno pernah menyerukan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Saat ini, cita-cita itu harus diterjemahkan ke dalam bentuk konkret di ruang digital. Kita tidak cukup hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi harus menjadi pembentuk budaya digital yang beradab. Ini berarti menggunakan teknologi untuk tujuan yang konstruktif, seperti menyebarkan konten positif, mempromosikan persatuan, dan menjadi agen perubahan yang baik. - Kembali ke identitas nasional (Pancasila).
Pancasila bukanlah sekadar teks, melainkan jiwa bangsa. Di tengah gempuran ideologi asing dan budaya digital yang memecah belah, Pancasila harus menjadi kompas moral. Setiap interaksi di dunia maya harus dilandasi oleh nilai-nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjaga Persatuan Indonesia, dan mengedepankan Musyawarah untuk Mufakat. Dengan demikian, kita menjaga kemerdekaan sejati dari dalam.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,” kata Bung Karno. Tapi bangsa yang besar juga adalah bangsa yang mampu meneruskan semangat para pahlawan itu dalam konteks zamannya—termasuk di zaman digital ini. Api kemerdekaan itu harus terus menyala di hati setiap anak bangsa, di setiap kata yang kita ketik, dan di setiap interaksi yang kita lakukan di dunia maya. Hanya dengan begitu, kita bisa benar-benar menjadi bangsa yang merdeka sepenuhnya. ***
Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH.
(Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan)