GIANYAR, Breaking-news.co.id | Untuk mewujudkan sebuah museum terlebih museum tradisional, bukan pekerjaan mudah. Butuh komitmen kuat, konsistensi, dan idealisme serta jiwa yang kuat. Karena mewujudkan museum butuh banyak koleksi yang dipajang, dan tentu juga butuh dana besar.
Apapun kesulitannya, pemahat I Ketut Pradnya, warga kelahiran Desa Selat, Susut, Bangli tahun 1957, dosen Sastra Bali di UNUD Denpasar ini berhasil mewujudkan museum impiannya. Museumnya yang diberi nama Wiswakarma, di Desa Batubulan, Sukawati, Gianyar, ini resmi dibuka pada 18 Juni tahun 2023.
Ayah empat anak ini memaparkan museummya didirikan di atas tanah kurang lebih 4 hektar. Wiswakarma papar dia menampilkan ruang edukasi, rekreasi dan ruang pameran hasil karya kebudayaan Bali klasik. Di museum ini dapat dinikmati berbagai bentuk dan tampilan arsitektur tradisional Bali.
Ketua Himpunan Museum Bali( HIMUSBA) AA Gede Rai( Arma) memuji keberanian I Ketut Pradnya mendirikan museum tradisional Bali. Walau di Bali ada 32 museum tetapi belum ada yang menjadikan arsitektur tradisional Bali sebagai pencirinya. ” Itu sebabnya sebagai Ketua HIMUSBA saya menyambut baik atas kegigihan I Ketut Pradnya dalam usaha mewujudkan cita- cita membangun Museum Wiswakarma ini”, ujarnya dikutif saat peresmian Wiswakarma,18/6-2023.
Mendapat apresiasi dan sambutan positif juga dari gubernur Bali, I Wayan Koster. Koster mengungkapkan akan sangat merepotkan untuk membangun museum arsitektur tradisional Bali, kerepotannya pada saat mengumpulkan karya seni arsitektur tradisional Bali, karena tidak mudah untuk mendapatkannya. Tidak banyak pelaku bisnis memiliki kepedulian pada kebudayaan. Ini upaya positif untuk untuk membentengi lenyapnya memori tradisi pada generasi muda kini.
Menurut Pradnya, pilosofi dia membangun museum adalah untuk membayar hutang kepada tanah kelahiran. ” Saya menekuni dunia perundagian sejak kecil, belajar guna- gina hidup dari kakak saya, I Wayan Contok( pemahat melegenda) ,”jelasnya.
Di tengah-tengah benturan kebudayaan Barat dan modernisasi serta kecepatan dunia digital menurutnya selayaknya merancang edukasi kultural, strategi dan sinergi menggali milik sendiri, tempat di mana kebudayaan kreatif itu tidak cuma dilestarikan, namun juga dirawat dan dialirkan ke ranah yang paling canggih.
Ditanya soal tempat koleksi lalu dia mengantarkan wartawan untuk melihat koleksi dan jenis pajangan di museum di bawah Yayasan Pulo Cendani yang juga punya PT Bali Sraya Style (yang telah biasa mengerjakan kontruksi berkelas nasional dan rumah mantan presiden RI ini).
Museumnya kaya dengan koleksi berkualitas meski lebih memancarkan nuansa bonefit daripada sisi provit.
Menampilkan koleksi Gelung Kori Agung Kori Besakih. Dikatakan gelung kori di Pura Besakih yang dibuat Ida Pedadanda Putu Pinatih asal Desa Jungutan, Bebandem, Karangasem dan Ida Bagus Tugur asal Klungkung ini sudah rusak dimakan usia.
Lalu dirinya yang merehab bersama kakanya Wayan Contok tahun 2007.Kemudian Kori agung bekas disimpan di museumnya sampai kini.
“Wiswakarma dipercaya oleh Gubernur Dewa Beratha untuk merenovasi Gelung Kori Pura Besakih untuk menjamin keamanan fisik terutama nilai sejarah pintu dimaksud”, kenang Bendesa Adat Selat, Susut, Bangli ini.
Museum Wiswakarma diperkaya dengan koleksi, seperti pintu Gumendung Mahkota Sutasoma, Pintu Gemendung Krena Arjuna Karang Sae, Pintu Gumendung Kuntul Karang Daun, Pintu Gumendung Dewi Kadru Karang Sae, Pintu Panyambrama, relief Rama Sita, relief Pandawa Mapacangan Indra Prasta, relief Siwa Uma, panel Kresna Arjuna, panel Wisnu Murti, Kidung Padma Reka Yama Raja, Cakra Jantung, Aksara Wreasta, Patung Rama Sita Hanoman, sampai Saka Museum Bali Gedong Karangasem, Gong Kebyar , Semar Pegulingan Mapacek, gender wayang, selonding, gambang, pintu klasik rumah tradisonal Bali dan gong Semar Pegunungan serta Palawah Gong Gede, di Desa Selat, Susut, Bangli.
Dilengkapi juga dengan Taman Semadi Gending. Posisinya di sisi timur laut museum. Menurut Pradnya, di tempat ini seluruh kegiatan ritus dan pagelaran seni disajikan di tempat tersebut. Gambar miniatur-miniatur seperti Gedong Mula Aksara, Gedong Parum Param, Gedong Jangga Mura dan lainnnya juga melengkapi museum ini.
Mengandung makna PT Bali Raya Style yang menjadi rumah besar Wiswakarma sanggup mengerjakan proyek bangunan tradisional tersebut. Konsep Asta Kosala Kosali, Asta Bumi dan Taru Pramana tentu menjadi roh museum Wiswakarma yang diejawahtahkan ke dalam bentuk karya riil seniman, baik dari Ketut Pradnya sendiri dan seniman yang dipekerjakannya di museum tersebut. Konsep ulu teben, kaja kelod, terjabarkan dari Asta Kosala- Kisali di museum Wiswakarma.
Apapun dikatakan kini museum Wiswakarma sangat diminati oleh masyarakat luas. Buktinya museum ini telah diramaikan dengan kunjungan reguler dan tamu yang bersifat insidental. Bahkan Universitas Merdeka Belajar katanya menjadikan Wiswakarma sebagai satu-satunya obyek kunjungan untuk belajar. Karena Wiswakarma menurutnya memang dirancang sebagai tempat edukasi non formal, pelatihan keterampilan guna- gini hidup manusia Bali.
“Intinya Wiswakarma menjadi tempat pagelaran seni dalam pengertian lebih luas, meliputi seni kriya, arsitektur, seni lukis, seni patung, seni sastra, seni bidang- bidang yang luas prihal asfek nyata kebudayaan Bali yang hidup dan memberi hidup masyarakat Bali”, jelas Pradnya sebagaimana dituangkan ke dalam Pustaka Larasan milikinya. (sum)