Modernisasi Hukum Acara Pidana dalam RUU KUHAP: Menjaga Keseimbangan Antara Kewenangan dan Pelindungan HAM

Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan.
DR. I Wayan Sudirta, SH, MH., Anggota Komisi 3 DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan. (foto: ist)

Jakarta, breakingnews – Diskusi terkait Rancangan Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana atau seringkali disebut Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengemuka belakangan ini. Pro dan Kontra terhadap beberapa isu krusial dan pasal-pasal dalam RUU KUHAP memantik para pemerhati hukum, organisasi swadaya masyarakat maupun seluruh elemen masyarakat lainnya. Kekhawatiran terhadap pembahasan RUU KUHAP terjadi karena dirasa masih kurang partisipatif atau terbuka terhadap masukan publik. Demikian pula kekhawatiran karena beberapa tema krusial yang terkait dengan pelindungan Hak Asasi Manusia seperti upaya paksa dan hubungan pengawasan atau kewenangan, yang dirasa akan merugikan kepentingan publik. Namun seperti apa sebenarnya proses perancangan dan penyusunan RUU KUHAP yang akan dilakukan di Komisi 3 DPR RI serta apa yang masih menjadi perdebatan di masyarakat. Menarik untuk dikupas lebih jauh.

Urgensi pembaruan terhadap KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) merupakan hal yang telah berlangsung lama setelah kurang lebih 44 tahun berlaku. Berbagai perkembangan dalam masyarakat terkait pelaksanaan sistem peradilan pidana telah jauh berjalan dan tentunya membutuhkan pengaturan. Selama ini perkembangan tersebut telah diakomodir dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan MA, Peraturan Kapolri, Peraturan Kejaksaan, Surat Edaran MA, maupun UU khusus seperti UU KPK, UU Polri, UU Kejaksaan, UU Pemasyarakatan, UU Kekuasaan Kehakiman, hingga UU lain seperti UU TPPU dan lain sebagainya. Berbagai penyesuaian maupun penyimpangan terhadap KUHAP telah dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan dan perkembangan baru dalam sistem peradilan pidana. Oleh sebab itu, seiring lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang menandakan reformasi Hukum Pidana Nasional, maka kebutuhan pembentukan KUHAP menjadi keniscayaan untuk memodernisasi Hukum Pidana secara implementatif.

Dalam tulisan-tulisan atau kajian saya sebelumnya terkait reformasi KUHAP, saya telah memaparkan beberapa pendapat saya tentang draf RUU KUHAP, baik sebagai anggota Komisi 3 DPR maupun akademisi. Saya melihat bahwa proses politik yang ada saat ini walaupun terlihat sedikit alot atau rumit dalam mencapai kesepakatan politik, namun semangatnya tetap sama yakni menghadirkan KUHAP yang dapat melindungi hak warga negara, keseimbangan kewenangan penegakan hukum dan pelindungan HAM, serta menciptakan keadilan substantif.

Catatan awal saya adalah pentingnya kita semua melihat dan menentukan dulu filosofi atau politik hukum yang ingin bersama-sama kita terapkan pada KUHAP atau sistem peradilan pidana nasional. Modernisasi hukum pidana dalam KUHP yang ingin mencapai keadilan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif disamping menciptakan kepastian hukum dan kemanfaatan; merupakan “fitur” baru yang sama-sama kita sepakati untuk diterapkan. Maka dalam RUU KUHAP ini, kita perlu mengedepankan prinsip keadilan restoratif dan keseimbangan dalam kepentingan hukum antara negara atau kewenangan institusional dan warga negara yang mencerminkan modernisasi tersebut.

Filosofi selanjutnya adalah pembaruan asas keseimbangan dalam Hukum Acara Pidana yang bercampur antara Inqisitorial dan Adversarial. Pasal 4 RUU KUHAP menegaskan kembali adanya keseimbangan prinsip hakim aktif (dominus litis) dan para pihak yang berlawanan. Pasal ini ingin menggeser prinsip inquisitorial ke arah sistem adversarial, yang mengenal prinsip penghormatan kepada hak-hak orang yang berhadapan dengan hukum. Pembahasan ilmiah terhadap prinsip ini telah banyak dilakukan. Walaupun memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun KUHAP perlu untuk mengatur beberapa hal yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Untuk itu saya melihat bahwa prinsip ini perlu untuk dijabarkan secara lebih komprehensif ke dalam pasal-pasal dalam RUU KUHAP. Hal ini untuk dijelaskan lebih lanjut, khususnya seperti mekanisme pembuktian dan gugatan terhadap sistem acara formil itu sendiri (pra-peradilan atau post-peradilan).

Dalam hal ini saya juga melihat bahwa RUU KUHAP tidak serta merta mereduksi kewenangan institusi penegak hukum. Namun saya melihat bahwa pengaturan peran advokat untuk melakukan pembuktian dan pendampingan di semua tahap akan menjadi faktor penyeimbang dalam melindungi kepentingan negara maupun kepentingan tersangka atau terdakwa. Oleh sebab itu penting bagi pembahasan RUU KUHAP untuk mendapat masukan atau gambaran ideal mengenai peran advokat yang efektif namun tetap profesional. Dalam RUU KUHAP saat ini peran advokat diperluas untuk melakukan pendampingan di setiap tahapan. Hal ini menjadi kunci untuk keseimbangan pula.

Selain itu pembahasan mengenai mekanisme pra-peradilan masih menjadi salah satu topik yang menarik. Perdebatan panjang dari berbagai sudut pandang mengenai mekanisme pra-peradilan yang perlu untuk diperkuat. Terdapat beberapa pandangan ilmiah mengenai pentingnya penguatan praperadilan (pretrial hearing), namun juga tidak sedikit yang mengkritik atau khawatir dalam pelaksanaannya di lapangan yang rentan dengan penyalahgunaan. Pra-peradilan pada intinya dibentuk untuk melindungi hak hukum seseorang dari penyalahgunaan atau penggunaan kekuasaan atau kewenangan secara berlebihan. Pra-peradilan mengawasi atau mengevaluasi kewenangan aparat penegak hukum yang melakukan tindakan hukum atau upaya paksa terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Di Indonesia saat ini, KUHAP mengatur pra peradilan untuk mengawasi pelaksanaan upaya paksa termasuk diperluas hingga penetapan tersangka. Pra-peradilan pada prakteknya dianggap hanya sebagai pemeriksaan administratif alih-alih memberikan pemeriksaan substantif-proaktif terhadap setiap tindakan aparat penegak hukum.

Dalam beberapa kajian komparatif dan pelaksanaan di beberapa negara, terdapat metode praperadilan yang bervariasi di beberapa negara. Pra peradilan (pre-trial hearing) menjadi mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan aparat yang membatasi hak seseorang yang dijamin dalam Konstitusi atau undang-undang baik secara prosedural maupun substantif. Prinsip yang digunakan selama ini terutama di negara-negara Anglo Saxon, dan menjadi benchmark, adalah Habeas Corpus Act. Prinsip ini pada intinya mengharuskan aparat untuk bertindak sesuai prosedur untuk menghormati hak hukum seseorang dalam mencapai proses peradilan yang baik dan terpercaya. Untuk mencapai sebuah keadilan yang murni, maka setiap tahapan dalam sistem peradilan harus dilakukan secara akuntabel dan due process of law.

Di berbagai negara, pengawasan atau supervisi dilakukan oleh Pengawas Penyidik atau Penuntut Umum (sesuai asas dominus litis). Selain itu di berbagai negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental, terdapat konsep Hakik Komisaris atau konsep Hakim pemeriksa pendahuluan. Sistem ini memperluas kewenangan peradilan untuk dapat memeriksa secara langsung terhadap seluruh tindakan yang dilakukan dalam seluruh tahap mekanisme acara pidana. Hakim Komisaris ini berfungsi untuk membantu agar proses peradilan dapat dilakukan secara efektif dan efisien untuk mencapai keadilan. Pelaksanaan kewenangan Pra-peradilan maupun penggunaan Hakim Komisaris tersebut bervariasi. Terdapat masukan kepada Komisi 3 DPR untuk mengatur mengenai konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini. Namun tentu harus dilakukan lebih jauh mengenai kewenangan dan implementasinya dalam konstelasi Hukum Pidana Nasional serta analisis dampak seperti Cost-Benefit Analysis (CBA) dan Economic Analysis of Law, sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Saya melihat bahwa konsep Pra-peradilan di RUU KUHAP belum menggunakan konsep ini. Banyak masukan juga bahwa ketidaksiapan SDM dan infrastruktur di lapangan akan menjadi kendala jika konsep ini diberlakukan. Selain itu terdapat penilaian bahwa konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan tetap rentan dengan penyalahgunaan atau pengawasannya masih sangat terbatas atau sulit.

Pandangan saya selanjutnya adalah mengenai upaya paksa dan pengawasannya. RUU KUHAP ingin mengatur agar Upaya paksa dijalankan secara lebih obyektif daripada pada subyektivitas. Hal ini merupakan cara untuk melindungi tindakan yang semena-mena dari oknum aparat, dengan tetap seimbang mengatur tentang kewenangannya dengan upaya mencegah kesewenangan dan mengawasi pelaksanaan upaya paksa secara prosedural. Pengaturan upaya paksa menjadi salah satu roh utama dari modernisasi KUHAP. Artinya pelindungan HAM dan kepentingan publik menjadi salah satu tolok ukur utama dalam KUHAP baru yang harus diperhatikan oleh seluruh pihak.

Demikian pula mengenai pengaturan tentang penahanan. Dalam RUU KUHAP memang belum mengubah secara signifikan tentang jangka waktu penahanan. Sebagian kelompok masyarakat sipil menginginkan adanya pengurangan terhadap lamanya masa penahanan. Masukan tersebut telah diterima oleh Komisi 3 DPR dari berbagai pihak yang telah melakukan kajian. Hal ini tentu akan menjadi pertimbangan bersama Pemerintah disesuaikan dengan kepentingan penegakan hukum dan hak sipil. Namun mengenai masalah penahanan ini perlu dikaji lebih jauh, mengingat jangka waktu penahanan ini sebenarnya bukan menjadi masalah yang paling utama di sektor “penahanan”. Yang paling menjadi keluhan adalah faktor kriteria pemberlakuan penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum dan institusi terkait lainnya. Oleh sebab itu, RUU KUHAP baru mengatur mengenai syarat dan ketentuan tentang seseorang yang dikenai penahanan secara lebih ketat dan terukur. Penyalahgunaan dan dominasi subyektivitas harus dapat dihilangkan atau dieleminasi, karena justru kontraprofuktif dengan tujuan penegakan hukum yang adil. Namun begitu saya telah melihat bahwa RUU KUHAP telah mencoba untuk mengatur mengenai syarat penahanan secara lebih ketat dan obyektif. Kriteria penahanan dibuat sedemikian rupa agar penyidik tidak asal dalam melakukan penahanan.

Kewenangan aparat penegak hukum yang ada perlu disesuaikan dengan prinsip check and balance. Artinya pelaksanaan kewenangan sangat perlu diawasi, baik dalam melakukan upaya paksa maupun profesionalitas implementasi kewenangan penanganan perkara yang diatur dalam undang-undang. Dalam praktek, diferensiasi fungsional ini masih menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat. Permasalahan ego-sektoral dan komunikasi antar penegak hukum yang kurang harmonis atau sinergis yang selama ini terjadi telah menyebabkan berbagai permasalahan. RUU ini menjadi salah satu cara untuk menjawab persoalan tersebut.

RUU KUHAP telah mengatur kewajiban untuk meletakkan CCTV atau perekaman elektronik yang melekat selama pemeriksaan. Hal ini menjadi sebuah kemajuan penting dalam modernisasi sistem. Oleh sebab itu, fungsi pengawasan elektronik ini perlu ditindaklanjuti dengan sistem pengawasan melekat sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atau penanganan terpadu (baik internal maupun eksternal) bilamana ditemukan pelanggaran. Hal ini lebih baik daripada menunggu pengaduan oleh pihak tersangka/terdakwa atau dilakukan secara proaktif sesuai dengan asas due process of law.

Selanjutnya, saya juga ingin menyoroti permasalahan yang sering terjadi di lapangan yakni transparansi dan publisitas vs hak privasi. Hal-hal seperti penetapan tersangka yang diekspos di media dan larangan publikasi proses persidangan sebagaimana Pasal 253 RUU KUHAP. Pada prinsipnya saya setuju bahwa publikasi secara real time (live streaming) adalah hal yang perlu untuk menjaga akuntabilitas sistem.

Terdapat pendapat atau pandangan bahwa transparansi belum tentu atau tidak selamanya dapat menjamin pelindungan terhadap hak hukum warga negara atau kepentingan hukumnya. Oleh sebab itu saya sependapat dengan RUU KUHAP yang melarang publikasi ketika dimintakan untuk persidangan tertutup dab pengumuman penetapan tersangka dengan menghadirkan tersangka (ekspos). Hal ini juga menjadi kekhawatiran seluruh pihak, terutama pihak yang berperkara karena komen atau pendapat orang terhadap data yang ada atau terungkap dalam proses persidangan dapat mempengaruhi hakim. Banyak yang kemudian meminta agar persidangan kasusnya dilakukan secara tertutup. Pengumuman putusan hakim itu sendiri juga merupakan salah satu jenis pemidanaan, sehingga ekspos berlebihan juga tentu dapat melanggar hak hukum seseorang.

Akan tetapi pada prinsipnya, saya setuju dengan pandangan proses persidangan harus bersifat terbuka untuk umum. Hal ini menjadi salah satu cara untuk melakukan pengawasan (baik internal maupun eksternal). Hakim, Penuntut Umum, dan Advokat pada prinsipnya harus membuka seterang-terangnya duduk perkara serta bersifat adil dan obyektif, walaupun advokat tentu dapat berpendapat lain. Pidana merupakan ranah hukum publik sehingga pada dasarnya persidangan harus dilakukan secara terbuka. Pengecualian terhadap hal-hal yang bersifat privasi (seperti pada tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana anak, dan tindak pidana tertentu lainnya yang menyangkut rahasia) harus dapat dimungkinkan untuk dimintakan secara tertutup.

Tentu masih banyak hal lain dalam RUU KUHAP yang menarik untuk didiskusikan, terutama yang terkait dengan kewenangan dan pengawasannya. Namun kita melihat pula bahwa RUU KUHAP sangat dibutuhkan untuk implementasi modernisasi hukum pidana berdasarkan keadilan restoratif dan pelindungan HAM. Harapan saya agar seluruh pihak tetap memberikan masukan terhadap Komisi 3 dengan segala kajiannya untuk menjadi bahan dalam pembahasan RUU dengan Pemerintah nantinya. ***

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *