Oleh: πŸ…˜ πŸ…šπŸ…”πŸ…£πŸ…€πŸ…£ πŸ…’πŸ…€πŸ…‘πŸ…πŸ…–πŸ…˜πŸ…Β Β 

Membaca kebingungan para Kepala Lingkungan dan Kelian Dinas di Kabupaten Badung menyikapi bantuan dana masing-masing dua juta rupiah per KK untuk merealisasikan janji kampanyenya setiap hari raya kepada umat masing-masing. Namun bantuan tersebut ternyata pilih-pilih yaitu bagi mereka yang penghasilannya maksimal 5.000.000 dan minimal sudah tinggal 5 tahun baru berhak mendapatkannya. Inilah yang menyebabkan para kepala lingkungan dan kelian dinas menjadi bingung. Dari kasus ini ada beberapa hal yang bisa dianalisis mengenai perilaku kepala daerah tersebut serta dampaknya terhadap masyarakat.

Saat kampanye, sebelum terpilih jadi kepala daerah (atau pasangannya) menjanjikan bantuan keuangan Rp2 juta per KK tanpa syarat, yang berarti semua keluarga akan mendapatkannya. Namun, setelah terpilih, mereka mulai mempertimbangkan kriteria baru, yaitu hanya bagi yang penghasilannya maksimal Rp5 juta dan sudah tinggal minimal lima tahun.

Secara logika, ada dua kemungkinan mengapa perubahan ini terjadi:

Mereka tidak merencanakan janji kampanye dengan matang. Ini menunjukkan bahwa janji kampanye tersebut hanya dibuat untuk menarik suara tanpa perhitungan yang jelas mengenai anggaran atau dampak kebijakan.

Mereka mengalami kendala anggaran setelah menjabat. Bisa jadi, setelah menjabat, mereka menyadari bahwa anggaran daerah tidak cukup untuk memenuhi janji kampanye, sehingga perlu membatasi penerima manfaat.

Jika alasan kedua yang terjadi, maka ada unsur ketidaksiapan dalam perencanaan, yang tetap mencerminkan kepemimpinan yang kurang bertanggung jawab.

Namun, jika alasan pertama yang dominan (janji dibuat hanya untuk meraih suara tanpa niat memenuhi), maka ini adalah bentuk manipulasi politik yang mencerminkan ketidakjujuran dan niat yang kurang baik dalam memimpin.

Apabila memang seperti itu maka rasa tidak adil di masyarakat, mereka yang sudah berharap menerima Rp2 juta namun ternyata tidak masuk kriteria pasti akan merasa kecewa, apalagi jika sebelumnya mereka memang dijanjikan tanpa syarat. Ini menciptakan rasa dikhianati dan bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemimpin tersebut di masa depan.

Kriteria yang Tidak Fleksibel

Menetapkan penghasilan maksimum Rp5 juta juga berpotensi tidak adil, terutama bagi mereka yang berpenghasilan tidak tetap. Apalagi lansia. Jika seseorang kadang mendapat Rp5 juta tetapi lebih sering hanya Rp2-3 juta, maka ia tetap tergolong sebagai masyarakat yang membutuhkan. Bahkan tidak jarang ada orang berpendapatan Β±15 juta rupiah, tapi cicilannya bisa 14 jutaan. Ini banyak. Sehingga mereka untuk memenuhi kebutuhan bisa ngemis sana sini. Jika kebijakan hanya melihat angka penghasilan tertinggi, maka banyak orang yang sebenarnya masih dalam kesulitan justru tidak menerima bantuan.

Kecemburuan Sosial

Orang-orang yang merasa tidak adil bisa membandingkan diri mereka dengan penerima bantuan dan bertanya-tanya: β€œMengapa dia dapat dan saya tidak?” Hal ini bisa memicu kecemburuan sosial dan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan daerah.

Dari kasus ini, kepala daerah bisa termasuk dalam tipe pemimpin yang memiliki karakteristik berikut:

Memanfaatkan janji populis untuk menarik suara tanpa komitmen yang kuat untuk merealisasikannya.

Tidak Transparan. Tidak menjelaskan sejak awal bahwa bantuan akan memiliki syarat, sehingga menimbulkan kebingungan dan rasa tertipu di masyarakat.Tidak Sensitif terhadap keadilan sosial, kriteria yang diterapkan kurang memperhatikan kondisi nyata masyarakat yang penghasilannya tidak tetap.

Kurang bertanggung jawab, jika memang anggaran menjadi kendala, seharusnya pemimpin tersebut jujur kepada masyarakat dan berusaha mencari solusi yang adil, bukan sekadar mengubah janji begitu saja.

Akhirnya jika kepala daerah memang sejak awal tahu bahwa janji Rp2 juta per KK tidak realistis, maka ini adalah bentuk ketidakjujuran politik yang tidak bisa dibenarkan. Jika alasannya adalah keterbatasan anggaran, maka pemimpin ini tetap harus bertanggung jawab dengan mencari solusi yang tidak merugikan masyarakat yang sudah berharap banyak.

Pemimpin yang baik seharusnya:

1. Jujur dan transparan sejak awal

2. Berpegang pada janji atau setidaknya memberi solusi yang adil

3. Peka terhadap dampak sosial dari kebijakan yang berubah

4. Bersedia mendengar aspirasi masyarakat dan mencari solusi yang lebih baik

Kasus ini, kepala daerah menunjukkan karakter yang lebih condong ke pemimpin oportunis yang tidak merancang kebijakan dengan matang dan kurang memperhitungkan dampak sosial dari janji yang ia buat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *