Pokok-Pokok Haluan Negara sebagai Arah Bangsa: Dari Refleksi Filosofis Menuju Implementasi Konstitusional Dalam Cahaya Pemikiran Bung Karno

Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH., Anggota Tim Perumus Substansi PPHN/ Badan Pengkajian MPR RI Fraksi PDI-Perjuangan. 
DR. I Wayan Sudirta, SH, MH., Anggota Komisi 3 DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan. (foto: ist)

Jakarta, breakingnews – Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) Sebagai Prinsip Direktif Kebijakan Negara

PPHN merupakan directive principles of state policy, yakni prinsip-prinsip direktif kebangsaan yang menjadi jembatan antara nilai-nilai dasar dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan norma-norma hukum positif dalam undang-undang. Dalam teori Stufenbau der Rechtsordnung yang dikembangkan oleh Hans Kelsen, norma hukum dibangun secara bertingkat dari yang paling abstrak hingga konkret. Dalam kerangka ini, PPHN berfungsi sebagai intermediate norm, yaitu penghubung normatif antara fondasi ideologis negara dan pelaksanaan kebijakan operasional yang dibentuk melalui legislasi.

Gagasan di balik PPHN adalah refleksi mendalam tentang bagaimana sebuah negara seharusnya mengarahkan dirinya menuju cita-cita luhurnya. Ini bukan sekadar daftar program atau target, melainkan sebuah deklarasi filosofis tentang tujuan eksistensi negara dan kerangka teoritis untuk mewujudkannya. Pada intinya, PPHN berasumsi bahwa keberadaan negara bukan hanya untuk menjaga ketertiban, tetapi untuk secara aktif memimpin masyarakat menuju suatu kondisi ideal yang telah disepakati bersama.

Dengan demikian, PPHN bukan sekadar dokumen perencanaan pembangunan biasa, melainkan platform ideologis dan konstitusional untuk memastikan arah pembangunan Indonesia senantiasa berlandaskan pada prinsip keadilan sosial, demokrasi permusyawaratan, kedaulatan rakyat, serta penghormatan terhadap keberagaman dan keutuhan bangsa.

Setelah melalui serangkaian rapat intensif dan diskusi lintas perspektif, pada tanggal 21 Juli 2025, Tim Perumus Substansi PPHN MPR RI secara resmi berhasil merampungkan pembahasan atas 382 Daftar Inventarisasi Masalah substansi PPHN, meskipun masih menyisakan sejumlah catatan yang akan dirapikan oleh tim sekretariat MPR RI.

Selain Ketua Badan Pengkajian (BP) MPR RI, Dr. Andreas Hugo Pareira, hadir dalam rapat perumusan PPHN tersebut yakni Wakil Ketua BP MPR RI, Dr. Benny K. Harman, S.H, serta dua anggota yakni, Dr. H. Hasanuddin, S.E., M.M dan saya sendiri, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H. Dalam momentum penting ini, saya mencoba memberikan kontribusi substansial dan watak filosofis Pancasila terhadap arah pembangunan jangka panjang Indonesia yang tertuang dalam rancangan PPHN.

Kontribusi Kritis: Desa dan Pembangunan Karakter Manusia
Salah satu substansi penting terkait PPHN adalah mengenai penguatan desa sebagai pusat otonomi lokal yang sejati dan pembangunan karakter serta kualitas manusia sebagai fondasi keberlangsungan negara. Dalam rumusan awal PPHN, keberadaan desa yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menimbulkan persoalan tersendiri. Pemberian otonomi terkecil kepada desa jelas bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula penataan masyarakat hukum adat yang ditetapkan sebagai Desa Adat bertentangan dengan norma Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini coba saya kritisi bahwa alih-alih bertentangan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sesungguhnya merupakan aktualisasi konkret dari prinsip rekognisi yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Pemberian otonomi terkecil kepada desa tidak dapat dipandang bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945. Justru sebaliknya, Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya, Pasal 18 ayat (5) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”

Desa, seringkali dianggap sebagai entitas geografis atau administratif semata, sesungguhnya menyimpan potensi filosofis yang kaya dalam membentuk karakter manusia. Dalam lanskap pembangunan modern yang didominasi oleh narasi urban, kontribusi kritis desa dalam pembentukan individu yang utuh seringkali terpinggirkan. Padahal, dari sudut pandang filosofis, desa menawarkan sebuah “laboratorium” alami bagi pengembangan nilai-nilai fundamental yang esensial bagi karakter manusia yang kokoh.

Dalam konteks ini, desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah bentuk otonomi lokal yang paling fundamental. Pengakuan terhadap desa dengan otonominya adalah bagian integral dari desentralisasi dan memberikan ruang bagi keberagaman lokal untuk berkembang sesuai potensinya. Ini sejalan dengan cita-cita demokrasi dari bawah (bottom-up) dan pemberdayaan masyarakat.

Klaim bahwa penataan masyarakat hukum adat yang ditetapkan sebagai Desa Adat bertentangan dengan norma Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga perlu dikoreksi. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Justru, pembentukan Desa Adat berdasarkan UU Desa merupakan perwujudan langsung dari amanat Pasal 18B ayat (2) tersebut. Undang-Undang Desa memberikan payung hukum bagi rekognisi (pengakuan) dan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Ini memungkinkan masyarakat hukum adat untuk tetap mempertahankan identitas, hak-hak tradisional, serta sistem pemerintahan lokalnya, sepanjang tidak bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini adalah langkah maju dalam melindungi warisan budaya dan kearifan lokal yang telah ada jauh sebelum negara modern terbentuk.

Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan segala dinamikanya, adalah upaya nyata untuk mengaktualisasikan semangat konstitusi, khususnya Pasal 18 dan Pasal 18B UUD 1945, dalam membangun otonomi lokal yang kuat dan menghargai keberagaman masyarakat hukum adat sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka redaksional rumusan diperbaiki untuk memperkuat keberadaan desa melalui UU tersendiri (UU Desa) walaupun terdapat dinamika dalam pelaksanaannya

Tentu saja, desa juga menghadapi tantangan modernisasi yang dapat mengikis nilai-nilai filosofis ini. Urbanisasi, infiltrasi budaya konsumerisme, dan perubahan sosial ekonomi dapat mengancam otentisitas desa. Oleh karena itu, penting untuk secara filosofis merevitalisasi peran desa dalam pembangunan karakter. Ini berarti tidak hanya berinvestasi pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada penguatan institusi sosial, pelestarian kearifan lokal, dan pemberdayaan masyarakat untuk mempertahankan esensi filosofis kehidupan desa.

Dengan demikian, desa bukanlah sekadar basis produksi atau entitas administratif; ia adalah fondasi filosofis bagi pembentukan karakter manusia yang berakar pada alam, berempati secara sosial, dan hidup dalam kesederhanaan otentik. Mengakui dan memperkuat kontribusi kritis ini adalah investasi jangka panjang untuk kemajuan peradaban manusia yang lebih seimbang dan berjiwa.

Sejalan dengan hal itu, usulan lainnya tentang pembangunan manusia tidak semata mengedepankan aspek pendidikan formal, tetapi lebih jauh menekankan pentingnya nation character building, pemantapan nilai gotong royong, dan revitalisasi warisan budaya yang mendidik generasi muda dalam semangat Pancasila.
Tanda Positif: Legislasi Berbasis Nilai Pancasila

Secara nyata, nilai-nilai Pancasila telah mulai diimplementasikan dalam proses pembentukan undang-undang saat ini di DPR RI. Dalam pembahasan RUU KUHAP di Komisi III DPR RI, misalnya, penyusunan RUU KUHAP merupakan momen krusial yang tidak hanya mengatur aspek prosedural hukum, tetapi juga menjadi cerminan nyata dari komitmen bangsa terhadap nilai-nilai Pancasila dalam sistem peradilan pidana. Ini adalah kesempatan untuk mengukuhkan sistem hukum yang berkeadilan, bermartabat, dan berpihak pada rakyat. Hal ini terlepas dari kritik, kontroversi dan perbedaan pendapat yang terdapat dalam proses pembahasan di Komisi III DPR RI. Namun, harus diakui bahwa upaya untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila sudah mulai tampak. Di sisi lain, RUU Pengelolaan Ruang Udara yang sedang dibahas memberikan kesempatan krusial untuk mengukuhkan kembali fondasi nilai-nilai Pancasila dan mewujudkan cita-cita Trisakti Bung Karno dalam pengelolaan udara sebagai salah satu dimensi kedaulatan bangsa. Ini merupakan pertanda positif bahwa proses legislasi kita berupaya melampaui kerangka normatif semata, menuju implementasi filosofi kebangsaan yang mendalam.

Pengelolaan ruang udara, yang seringkali diasosiasikan dengan aspek teknis navigasi dan penerbangan, sesungguhnya memiliki dampak geopolitik, ekonomi, dan sosial yang sangat luas. Oleh karena itu, menjadikan RUU ini berbasis nilai Pancasila berarti memastikan bahwa setiap pasal, ayat, dan kebijakan yang terkandung di dalamnya merefleksikan prinsip-prinsip luhur negara kita. Ini berarti menjamin penggunaan ruang udara yang bertanggung jawab secara Ketuhanan Yang Maha Esa melalui kelestarian lingkungan dan keberlanjutan, serta menjamin keadilan akses dan perlindungan hak asasi manusia sesuai prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Lebih lanjut, RUU ini harus mampu menegaskan Persatuan Indonesia dengan mengokohkan kedaulatan utuh atas ruang udara nasional, mencegah fragmentasi, dan memastikan pengelolaan terintegrasi. Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan menuntut adanya partisipasi publik yang transparan dan akuntabel dalam setiap keputusan terkait ruang udara. Terakhir, seluruh pemanfaatan ruang udara harus diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sejalan dengan prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang bisa diwujudkan melalui pengaturan tarif yang terjangkau atau pengembangan infrastruktur di daerah terpencil.

Kedua contoh tersebut mencerminkan transformasi positif bahwa nilai-nilai ideologis bukan sekadar wacana, melainkan mulai menjadi landasan legislatif yang nyata. Ini menjadi indikasi penting bahwa PPHN telah menemukan relevansinya di tengah praktik ketatanegaraan kontemporer.
Harapan kepada Presiden dan Rakyat Indonesia

Dalam kesempatan ini perlu disampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh Pimpinan MPR RI, khususnya kepada Ketua Badan Pengkajian MPR RI, yang telah memimpin proses kajian dengan penuh dedikasi dan komitmen kenegaraan. Demikian pula kepada seluruh anggota Badan Pengkajian dan Tim Perumus Substansi PPHN, atas kerja keras dan pemikiran konstruktif yang menghasilkan dokumen strategis ini secara demokratis dan inklusif.Kerja kolaboratif ini menunjukkan bahwa semangat gotong royong politik masih hidup dalam tubuh lembaga negara, yang secara tulus berikhtiar meletakkan fondasi perencanaan bangsa untuk generasi masa depan.
Dengan telah selesainya substansi PPHN 2025, kini saatnya langkah lanjutan dilakukan secara tegas dan menyeluruh. Harapan besar tertuju kepada Presiden Republik Indonesia agar berkenan menyampaikan sikap resmi dan langkah konkret terhadap PPHN dalam Sidang Tahunan MPR RI pada bulan Agustus 2025 mendatang. Dukungan dari Presiden akan menjadi penanda penting komitmen nasional terhadap keberlanjutan pembangunan yang berpijak pada nilai dasar bangsa.Lebih dari itu, dukungan seluruh rakyat Indonesia sangat dibutuhkan agar PPHN tidak hanya menjadi produk elite politik, melainkan milik bersama seluruh anak bangsa. Diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat sipil, akademisi, organisasi profesi, pelaku usaha, dan generasi muda untuk menjadikan PPHN sebagai living document yang dinamis, relevan, dan kontekstual sesuai tantangan zaman.

Penutup: Menuju Indonesia yang Berkarakter dan Berdaulat
Sebagaimana cita-cita luhur yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan semangat Bung Karno dalam membangun “nation with a soul”, PPHN 2025 menjadi ikhtiar kolektif untuk menyatukan arah pembangunan bangsa. Dokumen ini bukan hanya kumpulan rencana, melainkan kristalisasi harapan, pemikiran, dan nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri bangsa.

Melalui kontribusi seluruh stakeholders yang terlibat dan dukungan seluruh elemen bangsa, PPHN diharapkan benar-benar menjadi panduan konstitusional dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur—bukan hanya dalam teks, tetapi dalam tindakan nyata.

Ketika kita berbicara tentang Indonesia yang berkarakter dan berdaulat, kita tengah merujuk pada sebuah sinergi antara dua dimensi filosofis. Karakter yang kuat pada setiap individu dan komunitas akan menjadi pilar utama bagi tegaknya kedaulatan bangsa. Individu yang berintegritas tidak akan mudah disuap atau diintervensi. Masyarakat yang bergotong royong dan solider akan mampu menghadapi tantangan eksternal dengan kekuatan kolektif. Kebudayaan yang kokoh akan menjadi benteng pertahanan terakhir dari infiltrasi ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila.

PPHN, dalam rohnya, adalah manifestasi dari keinginan kolektif untuk memiliki visi jangka panjang yang terarah dan berkesinambungan. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa pembangunan karakter dan penguatan kedaulatan tidak terputus oleh siklus politik lima tahunan. Tanpa panduan filosofis yang jelas seperti PPHN, pembangunan karakter dapat menjadi sektoral dan sporadis, sementara upaya penguatan kedaulatan bisa kehilangan arah strategisnya. PPHN, dalam reinkarnasinya di masa depan, dapat menjadi “pakta sosial” yang mengikat seluruh elemen bangsa pada tujuan fundamental: membangun manusia Indonesia yang berkarakter Pancasila dan negara yang berdaulat penuh di kancah global.PPHN juga berfungsi sebagai instrumen untuk menyelaraskan narasi pembangunan dari tingkat nasional hingga lokal, dari pemerintah hingga masyarakat. Ini memastikan bahwa setiap program, mulai dari kurikulum pendidikan hingga kebijakan ekonomi, berkontribusi pada pembentukan karakter unggul dan penguatan kemandirian bangsa. PPHN akan menjadi kompas moral dan intelektual yang membimbing setiap kebijakan untuk secara konsisten memprioritaskan kepentingan nasional jangka panjang dan pembentukan manusia seutuhnya.Oleh karena itu, upaya pembangunan ini tidak dapat dipisahkan dari pendidikan yang holistik, penegakan hukum yang adil, dan penciptaan ruang publik yang memungkinkan dialog dan partisipasi. Ini adalah sebuah perjalanan untuk terus-menerus mengaktualisasikan potensi tertinggi bangsa, bukan hanya sebagai entitas geografis, melainkan sebagai sebuah peradaban yang berdaulat atas dirinya sendiri dan berkarakter mulia di mata dunia. Revitalisasi semangat PPHN adalah langkah filosofis penting untuk memastikan Indonesia di masa depan adalah bangsa yang kokoh karakternya, teguh kedaulatannya, dan relevan di panggung dunia. ***

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH., Anggota Tim Perumus Substansi PPHN/ Badan Pengkajian MPR RI Fraksi PDI-Perjuangan. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *