Pancasila, Konstitusi, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH., Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan.
DR. I Wayan Sudirta, SH, MH., Anggota Komisi 3 DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan. (foto: ist)

Jakarta, breakingnesw – Tanggal 18 Agustus diperingati sebagai Hari Konstitusi, sebuah momentum untuk merefleksikan sejauh mana konstitusi kita, UUD 1945, masih berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Setelah 27 tahun reformasi konstitusi yang melahirkan pembatasan kekuasaan, pemilu yang lebih demokratis, dan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, kita dihadapkan pada pertanyaan krusial: Apakah konstitusi kita telah kehilangan relevansinya di tengah dinamika politik modern?

Berdasarkan pemikiran Carl Schmitt, konstitusi bukan sekadar dokumen hukum, tetapi sebuah “keputusan politik fundamental” (die politische grundentscheidung) yang mendefinisikan identitas dan tatanan suatu bangsa. Konstitusi adalah wujud dari kehendak rakyat yang berdaulat, yang menentukan siapa yang berhak memerintah dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Bagi Schmitt, konstitusi modern harus mampu menjawab dua pertanyaan mendasar: siapa yang berhak berdaulat dan bagaimana kekuasaan itu dikendalikan.

Konstitusi yang Hidup, Bukan Sekadar Pasal
Konstitusi bukanlah kitab suci yang tak boleh disentuh, tetapi juga bukan alat kekuasaan yang bisa diubah seenaknya. Ia adalah kontrak sosial antara negara dan rakyat. Konstitusi hidup ketika ia berpihak pada rakyat, dan mati ketika ia hanya jadi formalitas.

Schmitt berpendapat bahwa konstitusi hidup ketika ia mampu menjembatani perbedaan-perbedaan politik dan menjaga kesatuan politik (politische einheit) bangsa. Konstitusi mati ketika ia hanya menjadi alat untuk menegasikan lawan politik dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Tantangan kita hari ini bukan hanya tentang teks konstitusi, tetapi pada kemauan politik untuk menjadikannya hidup. Jika para elit politik menggunakan konstitusi sebagai alat tawar-menawar, dan jika kita sebagai rakyat membiarkan nilai-nilai Pancasila terpinggirkan, maka konstitusi kita berisiko menjadi sekadar formalitas belaka.

Konstitusi akan kembali hidup ketika ia benar-benar berpihak pada rakyat, dan mati ketika ia hanya melayani kepentingan segelintir elit. Tanggal 18 Agustus adalah momen untuk bertanya, apakah kita sudah kembali pada keputusan politik fundamental bangsa, ataukah kita sedang tersesat jauh dari cita-cita luhur para pendiri negara?

Bung Karno memahami betul hal ini. Bagi beliau, konstitusi bukan sekadar dokumen hukum, tetapi “alat perjuangan revolusioner” yang harus membawa rakyat menuju keadilan sosial. Dalam pandangannya, Pancasila adalah jiwa konstitusi. Tanpa Pancasila, konstitusi kehilangan rohnya.

Dalam pandangan Schmitt, Pancasila dapat dilihat sebagai ideologi dasar yang menjadi landasan bagi keputusan politik fundamental bangsa. Ia adalah panduan yang menentukan siapa “kita” sebagai bangsa dan bagaimana tatanan sosial-politik kita harus dibangun.

Namun, di sinilah letak ironi terbesar. Konstitusi yang seharusnya menjadi jaminan keadilan sosial, justru sering kali menjadi formalitas kosong di hadapan praktik politik yang pragmatis. Intoleransi mengikis nilai Ketuhanan, kekuasaan mengalahkan Kemanusiaan, dan ketidakadilan membuat sila Keadilan Sosial hanya menjadi jargon politik.

Demokrasi yang Kehilangan Arah
Demokrasi modern sering menghadapi paradoks: rakyat bebas memilih, namun suara mereka sering tak didengar setelah pemilu. Kondisi ini menunjukkan bahwa demokrasi prosedural kita berjalan, tetapi demokrasi substansial masih jauh dari harapan.

Dalam pandangan Schmitt, demokrasi bukanlah sekadar sistem pemilu, tetapi wujud dari kehendak rakyat yang berdaulat (die politische einheit). Baginya, demokrasi sejati adalah kesamaan substansial (homogenitas) antara yang memerintah dan yang diperintah. Proses politik—seperti pemilihan umum—hanyalah sarana untuk mewujudkan kesatuan ini. Jika pemilu justru memicu perpecahan, politik uang, atau kooptasi oligarki, maka ia gagal menjalankan fungsi dasarnya.

Situasi ini memperlihatkan bahwa konstitusi saja tidak cukup. Kita butuh pemaknaan ulang terhadap nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara. Demokrasi tanpa arah nilai hanya akan menghasilkan rutinitas pemilu tanpa perubahan nyata.

Schmitt berpendapat bahwa setiap tatanan politik membutuhkan ideologi dasar yang mengikat masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah ideologi dasar tersebut. Ia adalah fondasi yang menciptakan kesamaan substansial di antara keberagaman.

Saat demokrasi kita menjadi rutinitas tanpa arah nilai, Pancasila dapat dilihat sebagai keputusan politik fundamental bangsa yang perlu dihidupkan kembali. Keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan bukanlah jargon politik, melainkan prasyarat mutlak agar demokrasi dapat berjalan secara substansial. Tanpa Pancasila sebagai pedoman, konstitusi dan pemilu kita hanya akan menjadi alat kekuasaan yang berpotensi memecah belah, bukan menyatukan.

Schmitt juga menyoroti peran otoritas dalam menjaga tatanan politik. Menurutnya, sebuah pemerintahan yang efektif harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan politik yang sulit, terutama di masa krisis. Dalam demokrasi kita, sering kali para pemimpin justru sibuk membangun koalisi demi kekuasaan, bukan demi kepentingan rakyat. Hal ini mengakibatkan otoritas politik menjadi lemah dan tidak mampu mewujudkan kehendak rakyat yang berdaulat secara nyata.

Pada akhirnya, tantangan terbesar kita bukan pada sistem, melainkan pada komitmen kita untuk mewujudkan demokrasi yang berlandaskan nilai. Demokrasi yang hidup adalah demokrasi yang mampu menjembatani perbedaan, mengutamakan keadilan, dan mendengarkan suara rakyat, bukan hanya pada saat pemilu, tetapi setiap saat.

Pancasila sebagai Kompas Masa Depan
Pancasila bukan sekadar dasar negara. Ia adalah kompas moral dan ideologis yang seharusnya menuntun arah pembangunan bangsa. Ketika Bung Karno mengajukan Pancasila dalam sidang BPUPKI, ia membayangkan Indonesia sebagai negara gotong royong—negara semua buat semua, bukan satu untuk satu.

Dalam konteks kekinian, Pancasila menjadi semakin relevan. Ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, perpecahan sosial, dan digitalisasi yang tak terkendali membutuhkan panduan nilai yang kuat. Kita butuh semangat keadilan sosial untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan. Kita butuh nilai kemanusiaan untuk menghadapi dampak krisis iklim. Kita butuh demokrasi yang berbasis musyawarah, bukan sekadar mayoritas.

Jika konstitusi kehilangan jiwa Pancasila, maka ia hanya menjadi alat hukum tanpa arah moral. Jika konstitusi dihidupkan kembali oleh nilai-nilai Pancasila, maka ia bisa menjadi jalan menuju transformasi bangsa yang lebih berkeadaban.

Mewujudkan Konstitusi yang Responsif
Dalam pandangan Carl Schmitt, konstitusi bukanlah teks yang beku, melainkan sebuah “keputusan politik fundamental” (die politische grundentscheidung) yang merefleksikan kehendak politik suatu bangsa. Oleh karena itu, konstitusi haruslah dinamis dan responsif terhadap perubahan zaman, namun tetap berpegang teguh pada fondasi ideologisnya. Perubahan sosial, teknologi, dan tantangan global membuat kita perlu terus mengevaluasi sistem ketatanegaraan yang ada.

Schmitt menekankan bahwa setiap perubahan pada konstitusi harus dilihat dari kacamata politik. Pertanyaannya bukanlah “Apakah pasal ini perlu diubah?”, melainkan “Apa konsekuensi politik dari perubahan ini?”. Wacana perubahan konstitusi, seperti penguatan MPR atau penetapan Pokok-Pokok Haluan Negara, harus dianalisis secara mendalam. Menurut Schmitt, perubahan semacam ini hanya sah jika didasari oleh kehendak politik rakyat yang berdaulat, bukan oleh kepentingan segelintir elit politik yang ingin mengkonsolidasikan kekuasaan. Perubahan konstitusi menjadi berbahaya jika ia hanya menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk mengendalikan negara, mengkhianati keputusan politik fundamental yang telah ditetapkan.

Schmitt membedakan antara konstitusi hidup (die lebendige verfassung) dan konstitusi mati (die tote verfassung). Konstitusi hidup adalah konstitusi yang memiliki kekuatan politik nyata dan dipatuhi oleh semua pihak. Ia mencerminkan kesatuan politik bangsa. Sebaliknya, konstitusi mati adalah konstitusi yang hanya ada di atas kertas, diabaikan dalam praktik politik, dan tidak memiliki kekuatan mengikat yang nyata.

Mengutip pemikiran Bung Karno bahwa “Negara Indonesia bukan milik satu orang, bukan milik satu golongan, tetapi milik kita semua,” dapat kita kaitkan dengan pandangan Schmitt. Konstitusi yang hidup adalah konstitusi yang benar-benar menjadi milik rakyat, bukan milik segelintir elit. Ia hidup ketika setiap warga negara merasa memiliki dan bertanggung jawab atas konstitusinya, serta berjuang untuk memastikan bahwa pasal-pasal di dalamnya benar-benar melindungi dan melayani kepentingan seluruh rakyat. Konstitusi menjadi mati ketika ia hanya menjadi instrumen hukum yang dapat dinegosiasikan oleh para elit.

Maka, masa depan demokrasi kita bergantung pada kemampuan kita untuk menjaga konstitusi hidup dengan merawat nilai-nilai, bukan sekadar pasal-pasal.

Dengan demikian, menelusuri pemikiran dari sudut pandang Schmitt, terkait pertanyaan pertama, siapa yang berdaulat, maka konstitusi adalah wujud dari kehendak rakyat untuk membentuk bentuk negara dan kehidupan politiknya. Oleh karena itu, konstitusi memiliki prinsip-prinsip dasar yang tidak dapat diubah oleh kekuasaan yang dibentuk oleh konstitusi itu sendiri (pouvoir constitué), seperti parlemen atau lembaga peradilan.

Menjawab pertanyaan kedua adalah bagaimana kekuasaan itu dikendalikan agar tidak melampaui batas yang telah ditetapkan. Schmitt, dalam analisisnya, menunjukkan bahwa hukum positif saja tidak cukup untuk mengendalikan kekuasaan.

Dalam konteks Indonesia, di mana MK melakukan penafsiran progresif, muncul perdebatan tentang batasan kekuasaan yudikatif. Di satu sisi, penafsiran progresif dapat dilihat sebagai upaya untuk menyesuaikan konstitusi dengan perkembangan zaman dan mencapai keadilan substansial. Di sisi lain, ini juga bisa diinterpretasikan sebagai penyimpangan dari teks asli konstitusi, yang berpotensi mengaburkan garis antara kekuasaan yudikatif dan legislatif. ***

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH.
(Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *